Hukum ‘Ajn

9 12 2009

Makna ‘Ajn

Berkata Ibnu Atsir setelah menyebutkan hadits Ibnu Umar : “Rasulullah melakukan
‘ajn didalam sholatnya”, yaitu bertelekan dengan kedua tangannya jika berdiri
sebagaimana yg dilakukan oleh orang yang membuat adonan. (an Niihayah 3/188)< Ibnu Umar : “Rasulullah melakukan
‘ajn didalam sholatnya”, yaitu bertelekan dengan kedua tangannya jika berdiri
sebagaimana yg dilakukan oleh orang yang membuat adonan. (an Niihayah 3/188)

Berkata Abu Musa al Madini setelah menyebutkan hadits Ibnu Umar: “Yaitu
bertelekan dengan kedua tangannya ketika berdiri dan meletakkan tangannya di
atas bumi sebagaimana orang yang membuat adonan.” (al Majmu al/p>

Berkata Abu Musa al Madini setelah menyebutkan hadits Ibnu Umar: “Yaitu
bertelekan dengan kedua tangannya ketika berdiri dan meletakkan tangannya di
atas bumi sebagaimana orang yang membuat adonan.” (al Majmu al Mughits 2/408)
Berkata Ibnu Mandhur :  bertelekan dengan.” Berkata pula:  orang yang bertelekan di atas bumi dengan (menggenggam) mengepalkan dan
menekankannya jika hendak bangkit baik krn tua maupun gemuk.

Berkata Ibnu Katsir: Dia memandang kepadaku seperti lepas kendali dan suaminya
Dari kalangan bangsawan yang bertelekan karena gemuk (buncit)
Adapun makna al-Juma’ dengan mendommahkan huruf jim : yaitu mengepalkan telapak
tangan juga bermakna memukulkannya dengan menyatukan dua telapak tangan. (ash
Shahah 3/1198)

Dalil tentang ‘Ajn

Riwayat Abu Ishaq al Harbi: “Berkata kepada kami Ubaidillah bin Umar, berkata
kepada kami Yunus bin Bakir, dari al Haitsami dari ‘Athiyah bin Qais dari al
Azraq bin Qais: “Saya melihat Ibnu Umar melakukan ‘ajn dalam sholatnya ketika
bangkit berdiri, saya bertanya kepadanya, maka beliau menjawab: ‘Saya melihat
Rasulullah shallallahu’alaihiwasslam melakukannya.'” (Gharibul Hadits (2/525).
Berkata al Albani: “Sanadnya shahih dan diriwayatkan oleh Baihaqi yang semakna
dengan itu (2/135) dengan sanad yang shahih.”)

Hadits tersebut memiliki penguat yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari jalan Hamad
bin Salamah dari al Azraq bin Qais, beliau berkata: “Saya melihat Ibnu Umar jika
berdiri setelah dua rakaat bertelekan diatas bumi dengan tangannya. Saya
bertanya kepada anaknya dan kawan-kawan duduknya, barangkali beliau melakukannya
karena ketuaan? Mereka menjawab: ‘Tidak, tetapi demikianlah keadaannya.'” (as
Sunanul Kubra (2/135). Berkata al Albani: “Sanad hadits ini jayyid (baik) dan
rawi-rawinya terpercaya (tsiqat)).

Hadits ini dikeluarkan dalam shahih Bukhari dengan lafadz: “…jika bangkit
mengangkat kepalanya dari sujud kedua beliau duduk bertelekan ke bumi kemudian
berdiri.” (Hr. Bukhari (kitabul Adzan – Bab kaifa ya’tamidu ‘alal ardli idza
qama – 1/303)

(Sunanun Mahjuuratun, Anis bin Ahmad binThahir, “Sunnah-sunnah dlm Sholat yg
Ditinggalkan”, Abu Hasna, Bahrul ‘Ulum, Bandung)
Sumber: http://groups.yahoo.com/group/assunnah/message/23861





Sifat Duduk Dalam Shalat Dua Raka’at

9 12 2009

Senin, 19 Juli 2004 16:30:04 WIB

SIFAT DUDUK DALAM SHALAT DUA RAKA’AT

Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

Telah berselisih para ulama dalam masalah sifat duduk di dalam shalat yang dua raka’at seperti shalat shubuh, shalat jum’at, dan shalat-shalat sunat yang dua rakaat, apakah sifat duduknya iftirasy seperti duduk di antara dua sujud, atau tawarruk?

Sebagian ulama berpendapat bahwa : Setiap shalat yang dua raka’at atau dengan kata lain setiap shalat yang hanya ada satu tasyahhudnya saja, seperti shalat shubuh, shalat jum’at, dan shalat-shalat sunat yang dua raka’at, sifat duduknya adalah iftirasy seperti duduk di antara dua sujud.

Dalil meraka ialah kemutlakan hadits-hadits atau riwayat yang menjelaskan bahwa hukum asal sifat duduk di dalam shalat adalah iftirasy. Kecuali shalat-shalat yang ada dua tasyahhud-nya seperti shalat zhuhur, ashar, maghrib, isyaa’, dan shalat-shalat sunat yang empat raka’at, maka duduk akhirnya tawarruk.

Ringkasnya, kalau shalat itu dua raka’at maka kembali kepada hukum asal sifat duduk di dalam shalat yaitu iftirasy. Dan kalau shalat itu mempunyai dua tasyahhud, maka sifat duduk tasyahhud awal adalah iftirasy, sedangkan tasyahhud akhir sifat duduknya tawarruk.

Inilah yang menjadi madzhabnya Imam Ahmad bin Hambal dan mereka yang sepaham dengan beliau.

Adapun madzhab Imam Abu Hanifah, karena sangat berpegang dengan hukum asal sifat duduk di dalam shalat adalah iftirasy, maka madzhab beliau tidak membedakan antara shalat yang dua raka’at dengan shalat yang mempunyai dua tasyahhud atau antara tasyahhud awal dan akhir sama saja, yaitu kembali kepada hukum asal sifat duduk di dalam shalat yaitu iftirasy, tidak ada tawarruk.

Madzhab Imam Abu Hanifah ini lemah, kalau tidak mau dikatakan sangat lemah, karena jelas sekali bertentangan dengan sejumlah hadits yang menjelaskan adanya sifat duduk tawarruk.

Kita kembali ke madzhab Imam Ahmad, dari keputusan madzhab beliau kita mengetahui, tidak ada satupun dalil -setahu saya- yang sampai kepada kita yang menjelaskan secara khusus bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kalau shalat yang dua raka’at seperti shalat shubuh dan lain-lain sifat duduknya adalah iftirasy. Atau sebagian Shahabat pernah melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua raka’at duduknya iftirasy. Sebab, kalau ada riwayat yang seperti ini, sah dan tegas, maka tidak ada lagi perselisihan, tetapi wajib bagi kita taslim dan mengamalkannya sesuai dengan contoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena tidak ada dalil khusus seperti yang saya terangkan di atas, maka tahulah kita bahwa masalah ini adalah masalah cara mengeluarkan hukum atau istimbath yang sering membawa perselisihan yang berkepanjangan di antara para ulama’.

DALIL MADZHAB IFTIRASY DAN BANTAHANNYA
603”Artinya : Dari Qasim bin Muhammad, dari Abdullah bin Abdullah bin umar, dari bapaknya (yaitu Abdullah bin Umar), bahwasannya dia pernah berkata, “Sesungguhnya sebagian dari sunnah shalat[1] ialah engkau hamparkan kaki kirimu dan engkau tegakkan (kaki) kananmu.”[2]

Shahih. Telah dikeluarkan oleh Nasaa’i (Juz 2 hal. 235)

Berkata Aisyah menjelaskan tentang sifat shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam-diantaranya:

604.” Artinya : …dan beliau mengucapkan setiap dua raka’at at tahiyyat, dan beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (yakni beliau duduk iftirasy)…”

Shahih. Diriwayatkan oleh Muslim (Juz 2 hal. 54) dan lain-lain.

Berkata Waa’il bin Hujr menjelaskan tentang sifat shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diantaranya:

605”Artinya : . …kemudian beliau duduk menghamparkan kaki kirinya (yakni duduk iftirasy), dan beliau meletakkan telapak tangan kirinya di atas paha dan lutut kirinya, beliau jadikan batas sikut kanannya di atas paha kanannya kemudian beliau menggenggam dua jarinya di antara jari-jari tangan (kanan)nya (yakni jari manis dan jari kelingkingnya), kemudian beliau membuat satu lingkaran (dengan kedua jarinya yaitu jari tengah dan ibu jarinya), kemudian beliau mengangkat jari (telunjuk)nya, maka aku melihat beliau menggerak-gerakannya beliau berdo’a dengannya”

(Lihatlah kembali kelengkapan lafadz dan takhrij hadits ini di Al Masaa-il jilid 2 masalah ke 29 nomor hadits 237).

Tiga buah hadits di atas dan yang semakna dengannya telah dijadikan dalil oleh dua madzhab besar:

Pertama :
Imam Abu Hanifah dan madzhabnya mengatakan, bahwa sifat duduk tasyahhud atau tahiyyat awal dan akhir sama saja tidak berbeda yaitu iftirasy (melipat atau menghamparkan kaki kiri dan duduk di atasnya dengan menegakkan kaki kanan).

Bantahan.
Sebagaimana telah saya katakan di muka, bahwa madzhab ini lemah, kalau tidak mau dikatakan sangat lemah. Karena telah terbantah dan tertolak oleh sejumlah hadits shahih yang sampai kepada kita tentang sifat duduk tawarruk, sebagaimana akan datang sebagiannya insyaa Allahu Ta’ala. Adapun pembelaan Imam Ath-Thahawiy terhadap madzhabnya, yaitu madzhab Hanafi, di kitab beliau Syarah Ma’aanil Aatsar dengan melemahkan dalil tawarruk, telah dibantah habis-habisan oleh Imam Ibnu Hazm di kitabnya Al Muhalla walaupun tanpa menyebut namanya, tetapi dapat dipastikan bahwa yang dimaksud oleh Ibnu Hazm adalah Thahawiy sebagaimana telah dijelaskan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir di dalam memberikan ta’liq atas kitab Al Muhalla. Saya sendiri melihat bahwa hujjah atau alasan Thahawiy dalam masalah ini lemah dari beberapa jalan:

Telah datang sejumlah hadits shahih tentang sifat duduk tawarruk. Sampai-sampai madzhab Malik mengatakan, bahwa sifat duduk tasyahhud awal dan akhir adalah tawarruk.

Bahwa hadits Abu Humaid As Saa’idiy yang dengan tegas menjelaskan sifat duduk tawarruk di raka’at akhir shahih dan telah diriwayatkan dari beberapa jalan.[3]

Maka tidak ada alasan bagi Thahawiy dan madzhabnya untuk menolak dengan cara melemahkan lafazh tawarruk yang ada di hadits Abu Humaid kecuali karena ta’ashshub madzhabiyyah. Hadits Abu Humaid adalah hadits yang besar dan kuat dalil dan hujjahnya dalam membantah beberapa madzhab dalam masalah ini. Madzhab Abu Hanifah, dibantah oleh hadits Abu Humaid dengan adanya tawarruk.

Madzhab Malik, dibantah oleh hadits Abu Humaid dengan adanya iftirasy.

Madzhab Ahmad yang mengatakan bahwa setiap shalat yang dua raka’at atau yang ada satu tasyahhudnya sifat duduknya adalah iftirasy, dibantah oleh hadits Abu Humaid dengan adanya lafazh yang muqayyad dari lafazh yang mutlak di atas yaitu tawarruk di raka’at akhir.

Maka orang yang paling berbahagia dalam mengamalkan hadits Abu Humaid secara utuh adalah Imam Asy Syafi’iy bersama Imam Ibnu Hazm.

Kedua.
Imam Ahmad dan madzhabnya mengatakan, yang diantaranya diwakili oleh Imam Ibnu Qudamah di kitabnya Al Mughni, bahwa hukum asal sifat duduk adalah iftirasy. Tidak akan keluar dari hukum asal ini kecuali dengan dalil seperti shalat yang mempunyai dua tasyahhud. Berdalil dengan hadits Abu Humaid, maka tasyahhud awal iftirasy sedangkan tasyahhud akhir tawarruk. Atau dengan kata lain, tidak ada tawarruk kecuali di dalam shalat yang ada dua tasyahhud-nya seperti shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isyaa’ dan lain-lain. Adapun shalat yang dua raka’at atau yang hanya ada satu tasyahhudnya maka kembali kepada hukum asal dan tetap di dalam keumumannya yaitu iftirasy, sebagaimana ditunjuki oleh tiga buah hadits di atas.

Bantahan
Tiga buah hadits di atas bersifat mutlak atau umum atau katakanlah sebagai hukum asal. Dan tidak keluar dari hukum asalnya atau kemutlakannya kecuali kalau ada dalil yang memalingkannya. Dalilnya menurut Ibnu Qudamah dan Ibnu Qayyim ialah shalat yang mempunyai dua tasyahhud, tasyahhud awal iftirasy sedangkan tasyahhud akhir tawarruk. Kalau shalat tersebut hanya mempunyai satu tasyahhud saja, maka dia kembali kepada hukum asal dan kemutlakannya yaitu iftirasy seperti shalat Shubuh dan lain-lain.

Dijawab : Kurang tepat, yang lebih tepat apabila ada dalil yang bersifat mutlak, kemudian datang dalil yang bersifat muqayyad, maka dalil yang mutlak tersebut wajib dibawa kepada dalil yang muqayyad. Hadits Abu Humaid bersifat muqayyad atau katakanlah dalil umum yang dikhususkan bahwa setiap duduk akhir sifatnya tawarruk, sama saja, baik shalat yang mempunyai satu tasyahhud atau dua tasyahhud. Sedangkan hadits-hadits di atas yang bersifat mutlak wajib ditempatkan pada tempatnya yang benar yaitu tasyahhud awal kalau shalat itu mempunyai dua tasyahhud. Karena kemutlakannya telah dibawa kepada muqayyad-nya hadits Abu Humaid yaitu setiap duduk akhir sifatnya tawarruk. Oleh karena itu Imam Nasaa’i telah memberikan bab untuk hadits Abdullah bin Umar di atas (hadits pertama) dengan judul bab :

BAGAIMANA CARA DUDUK TASYAHUD AWAL
Hadits Ibnu Umar di atas diriwayatkan juga oleh Imam Malik dikitabnya Al-Muwaththa’[4] dari jalan yang sama tetapi dalam menjelaskan sifat duduk tawarruk berbeda dengan riwayat Nasaa-i. Oleh karena itu dapat kita jama’ (kumpulkan) antara dua riwayat dari jalan yang sama dari Ibnu Umar sebagaimana telah dijelaskan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar di kitabnya Fat-hul Baari’ dalam mensyarahkan hadits (no. 827 & 828) yaitu: Riwayat Nasa-i menjelaskan sifat duduk tasyahhud awal, sedangkan riwayat Malik menjelaskan sifat duduk tasyahhud akhir. Hal ini mempertegas kepada kita bahwa Ibnu Umar menjelaskan kedua sifat duduk tasyahhud, awal dan akhir. Bahkan hadits Ibnu Umar ini justru membatalkan madzhab Abu Hanifah dan Malik, karena keduanya hanya mengambil sebagian dari hadits tidak semuanya.

Imam Abu Hanifah hanya berpegang dengan sifat duduk iftirasy (riwayat Nasaa’i), dan tidak berpegang dengan sifat duduk tawarruk (riwayat Malik).

Sebaliknya, Imam Malik hanya berpegang dengan sifat duduk tawarruk, dan tidak berpegang dengan sifat duduk iftirasy.

Padahal, Ibnu Umar menjelaskan kedua sifat duduk di atas, iftirasy dan tawarruk. Maka wajib bagi kita berpegang dengan kedua sifat duduk di atas, tidak boleh kita ambil sebagiannya saja dengan meninggalkan sebagian yang lain.

Sekarang, mari kita lihat lafazh hadits Ibnu Umar dari riwayat Imam Malik bin Anas:

606.”Artinya : Dari Malik, dari Yahya bin Sa’id (ia berkata) : Sesungguhnya Qasim bin Muhammad telah memperlihatkan kepada mereka (sifat) duduk tasyahhud (yaitu): Beliau menegakkan kaki kanannya dan melipat kaki kirinya, kemudian beliau duduk dengan meletakkan pangkal pahanya (pantatnya) di tanah (duduk tawarruk), dan beliau tidak duduk di atas kaki (kiri) nya (duduk iftirasy). Kemudian beliau berkata: Abdullah bin Abdullah bin Umar telah memperlihatkan kepadaku (sifat duduk tawarruk) ini, dan dia telah menceritakan kepadaku bahwa bapaknya (yaitu Abdullah bin Umar) telah mengerjakan seperti itu”.

Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa : Sifat duduk di akhir setiap shalat adalah tawarruk, baik shalat yang dua raka’at seperti shalat Shubuh, shalat jum’at dan shalat-shalat sunat yang dua raka’at atau shalat-shalat yang ada dua tasyahhudnya seperti shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isyaa’ dan shalat-shalat sunat yang empat raka’at, sama saja tidak ada perbedaan, sifat duduknya adalah tawarruk.

Dalil mereka ialah membawa kemutlakan dalil iftirasy kepada dalil yang muqayyad.

Dalil iftirasy bersifat mutlak atau umum, sedangkan dalil tawarruk setiap duduk akhir bersifat muqayyad. Maka sesuai dengan kaidah ushul, bahwa dalil yang mutlak harus dibawa kepada dalil yang muqayyad. Oleh karena itu mereka mengatakan, bahwa setiap duduk akhir adalah tawarruk sebagaimana telah ditunjuki oleh dalil yang bersifat muqayyad.

Inilah yang menjadi madzhabnya Imam Syafi’iy dan mereka yang sepaham denga beliau.

Adapun madzhabnya Imam Malik bin Anas telah menetapkan, bahwa sifat duduk tasyahhud awal dan akhir adalah tawarruk, tidak ada perbedaan di antara keduanya. Madzhab ini berdalil dengan hadits-hadits tawarruk, yang dalam sebagian haditsnya tidak dijelaskan perbedaan sifat duduk tasyahhud awal dan akhir. Oleh karena itu mereka mengatakan, bahwa sifat duduk tasyahhud awal dan akhir adalah tawarruk.

Madzhab Imam Malik ini sama lemahnya dengan madzhab Imam Abu Hanifah, karena jelas sekali bertentangan dengan sejumlah hadits yang menjelaskan adanya perbedaan antara sifat duduk tasyahhud awal dan akhir khususnya hadits Abu Humaid As Saa’idiy di bawah ini:

DALIL MADZHAB TAWARUK DAN BANTAHANNYA
607. ”Artinya : Dari Muhammad bin Amr bin ‘Atha’,sesungguhnya ia pernah duduk bersama sepuluh orang Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu kami menyebut shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkata Abu Humaid As Saa’idiy, “Aku lebih hafal dari kamu tentang shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku pernah melihat beliau apabila bertakbir, beliau jadikan kedua tangannya berhadapan dengan kedua pundaknya. Dan apabila beliau ruku’, beliaumeletakkan kedua tangannya di kedua lututnya, kemudian beliau meluruskan punggungnya. Maka apabila beliau mengangkat kepalanya (dari ruku’), beliau berdiri lurus (i‘tidal) sehingga kembali setiap tulang belakang ke tempatnya. Kemudian apabila beliau sujud, beliau meletakkan kedua tangannya dengan tidak menghamparkan dan tidak menggenggam keduanya, dan beliau (ketika sujud) menghadapkan ujung-ujung jari kedua kakinya ke arah kiblat. Kemudian apabila beliau duduk pada dua raka’at, beliau duduk di atas (hamparan) kaki kirinya dengan menegakkan kaki kanannya (sifat duduk iftirasy). Dan apabila beliau duduk pada raka’at akhir, beliau majukan kaki kirinya dengan menegakkan kaki kanannya dan beliau duduk di tempatnya (ditanah, yakni sifat duduk tawarruk).”

Shahih. Telah dikeluarkan oleh Bukhari (no. 828) dan lain-lain. Lihatlah kelengkapan takhrij-nya di Al Masaa-il jilid 2 no. 234 &235.

Hadits yang mulia ini merupakan hujjah yang kuat bagi As-Syafi’iy dan yang sepaham dengannya bahwa setiap duduk akhir adalah tawarruk, baik shalat yang mempunyai dua tasyahhud atau satu tasyahhud.

Bantahan
Mereka yang berpendapat bahwa tawarruk hanya untuk shalat yang mempunyai dua tasyahhud, membantah hujjah di atas seperti Ibnu Qayyim di kitabnya Zaadul Ma’aad, tetapi beliau tidak sanggup berbuat banyak kecuali mengatakan seperti yang lainnya: Bahwa hadits Abu Humaid di atas khusus untuk shalat yang mempunyai dua tasyahhud seperti shalat yang empat raka’at atau tiga raka’at karena susunan haditsnya memang menunjukkan seperti itu. Maka susunan ini zhahirnya mengkhususkan bahwa duduk tawarruk hanya ada pada tasyahhud yang kedua.

Dijawab ; Bantahan di atas lemah, karena yang dipersoalkan adalah shalatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan masalah empat raka’atnya. Mari lihat dan perhatikan urutan hadits Abu Humaid di atas:

Pertama
Berkata Muhammad bin Amr bin ‘Atha’: Kami menyebut-nyebut shalatnya Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam.

Bukankah ini menunjukkan bahwa para Shahabat sebanyak sepuluh orang bersama Muhammad bin Amr bin ‘Atha’ sedang membahas sifat shalat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam?

Kedua
Berkata Abu Humaid As Saa’idiy: Aku lebih tahu dari kalian tentang shalatnya Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam.

Bukankah ini menunjukkan Abu Humaid As Saa’idiy mengatakan secara umum kepada Shahabat-shahabatnya bahwa dia paling tahu tentang sifat shalatnya Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam kemudian dia menjelaskan tanpa mengkhususkan shalat yang 2, 3, atau 4 raka’at?

Ketiga
Di antara sifat shalat Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam yang dijelaskan oleh Abu Humaid As Saa’idiy ialah: Sifat mengangkat kedua tangan , sifat ruku’, sifat i‘tidal, dan sifat sujud. Apakah semua sifat shalat tersebut khusus untuk shalat yang empat raka’at?

Kemudian hadits Abdullah bin Mas’ud di bawah ini memperkuat hadits Abu Humaid As-Saa’idiy:

608. “Artinya : Dari Ibnu Mas’ud (ia berkata): Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk tawarruk di akhir shalatnya”

Hasan. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah (no: 701, 702, & 708) dan Ahmad (1/459 no: 4382). Lafazh hadits dari salah satu riwayat Ibnu Khuzaimah dengan ringkas (no: 701).

KESIMPULAN
[1]. Dari empat madzhab di atas dalam masalah sifat duduk tasyahhud, maka madzhab Syafi’iy dan Ahmad yang lebih kuat dari madzhab Abu Hanifah dan Malik. Kedua imam besar di atas telah menetapkan bahwa sifat duduk tasyahhud ada yang iftirasy dan ada yang tawarruk. Kemudian keduanya berselisih dalam menempatkan sifat duduk tawarruk.

Syafiiy mengatakan bahwa setiap akhir shalat shalat sifat duduknya adalah tawarruk.

Ahmad mengatakan bahwa tawarruk khusus untuk shalat yang mempunyai dua tasyahhud.

[2]. Yang lebih kuat dalam masalah tawarruk -sepanjang penelitian saya yang cukup dalam dan lama- adalah Syafi’iy yaitu setiap duduk akhir tawarruk.

Maraaji.
1). Al Umm oleh Imam Syafi’iy juz 1 hal. 139 cet. Daarul Fikr.
2). Al Muhalla oleh Imam Ibnu Hazm juz 3 hal. 268-271 masalah 372 dan juz 4 hal.125-128 masalah 455di tahqiq oleh Ahmad Syakir.
3). Sunnanul Kubra oleh Imam Al Baihaqiy juz 2 hal. 127-130 cet. Daarul Ma’rifah.
4). Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab oleh Imam An Nawawi juz 3 hal. 411-413 cet. Daarul Fikr thn 1417 H/1996 M.
5). Raudhatuth Thaalibin oleh Imam An Nawawi juz 1 hal. 261-262 cet. Maktabul Islamiy.
6). Nailul Authar oleh Imam Syaukani juz 2 hal. 306-311 cet. Daarul Fikr thn 1400 H/1980 M.
7). Syarah Ma’aanil Aatsar oleh Imam Ath Thahawi juz 1 hal. 257-261 bab sifatul julus fish shalah kaifa huwa?
8). Syarah Fat-hul Qadir oleh Imam Ibnul Humaam Al Hanafiy juz 1 hal 312 dan 316.
9). Al Kaafiy oleh Imam Ibnu Abdil Bar juz 1 hal. 204 cet. Maktabah Ar Riyadh Al-Haditsah.
10). Al Istidzkar oleh Imam Ibnu Abdil Bar.
11). At Tamhid oleh Imam Ibnu Abdil Bar.
12). Bidaayatul Mujtahid oleh Imam Ibnu Rusyd juz 1 hal. 98 cet. Daarul Fikr.
13). Al Mughni oleh Imam Ibnu Qudamah juz 2 hal. 227 di tahqiq oleh Abdul Muhsin At-Turkiy.
14). Zaadu Ma’aad oleh Imam Ibnu Qayyim juz 1 hal. 245-246 cet. Muassasah Ar Risaalah di tahqiq oleh Syu’aib Al Arnauth dan Abdul Qadir Al Arnauth.
15). Fat-hul Baari’ Syarah Bukhari oleh Imam Ibnu Hajar.
16). Syarah Muslim oleh Imam Nawawi.
17). Tuhfatul Ahwadziy Syarah Tirmidziy oleh Imam Mubaarakfuri juz 2 hal. 177-180 cet. Daarul Fikr.
Dan lain-lain.

[Disalin dari kitab Al-Masaa-il (Masalah-masalah agama) jilid ke tiga, Penulis Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qolam- Jakarta Cetakan I – Th 1423H/2002M]
_________
Foote Note
[1]. Sunnah shalat maksudnya ialah salah satu sifat shalat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yaitu iftirasy. Bukanlah yang dimaksud hukumnya sunat seperti istilah yang biasa terpakai di dalam menentukan hukum
[2]. Yang dimaksud ialah duduk iftirasy, yaitu menghamparkan kaki kiri dan duduk di atasnya dengan menegakkan kaki kanan.
[3]. Sebagaimana yang akan saya turunkan haditsnya secara lengkap setelah ini, insya Allahu Ta’ala.
[4]. Tanwirul Hawalik syarah Muwaththa’ Malik (juz 1 hal 113) oleh Imam Suyuthi.

Sumber: http://www.almanhaj.or.id





Shalat Jama’ Taqdim

9 12 2009

Jumat, 20 Februari 2004 14:31:23 WIB

SHALAT JAMA’ TAQDIM

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

“Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam peperangan Tabuk, apabila hendak berangkat sebelum tergelincir matahari, maka beliau mengakhirkan Dzuhur hingga beliau mengumpulkannya dengan Ashar, lalu beliau melakukan dua shalat itu sekalian. Dan apabila beliau hendak berangkat setelah tergelincir matahari, maka beliau menyegerakan Ashar bersama Dzuhur dan melakukan shalat Dzuhur dan Ashar sekalian. Kemudian beliau berjalan.

Dan apabila beliau hendak berangkat sebelum Maghrib maka beliau mengakhirkan Maghrib sehingga mengerjakan bersama Isya’, dan apabila beliau berangkat setelah Maghrib maka beliau menyegerakan Isya’ dan melakukan shalat Isya’ bersama Maghrib”.

Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud (1220), At-Tirmidzi (2/438) Ad-Daruquthni (151), Al-Baihaqi (3/165) dan Ahmad (5/241-242), mereka semua memperolehnya dari jalur Qutaibah bin Sa’id : ” Telah bercerita kepadaku Al-Laits bin Sa’ad dari Yazid bin Abi Habib dari Abi Thufail Amir bin Watsilah dari Mu’adz bin Jabal, secara marfu. Dalam hal ini Abu Dawud berkomentar :”Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini kecuali Qutaibah saja”.

Saya menilai : “Dia adalah tsiqah dan tepat. Maka tidak mengapa meskipun dia sendirian dalam meriwayatkan hadits ini dari Al-Laits selain darinya”.

Di tempat lain At-Tirmidzi juga berkata : “Hadits ini hasan shahih”.

Saya berpendapat : Inilah yang benar, semua perawinya tsiqah. Yakni para perawi Asy-Syaikhain. Juga telah dinilai shahih oleh Ibnul Qayyim dan lainnya. Namun Al-Hakim dan lainnya menganggapnya ada ‘illat yang tidak baik, seperti yang telah saya jelaskan dalam Irwa ‘Al-Ghalil (571). Di sana saya menyebutkan mutabi’ (hadits yang mengikuti) kepada Qutaibah dan beberapa syahid (hadits pendukung) yang memastikan keshahihannya.

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Malik (I/143/2) dari jalur lain yang berasal dari Abi Thufail dengan redaksi.

“Sesungguhnya mereka keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun Tabuk. Maka adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan antara Dzuhur dan Ashar serta Magrib dan Isya. Abu Thufail berkata : ‘Kemudian beliau mengakhirkan (jama’ takhir) shalat pada suatu hari. Lalu beliau keluar dan shalat Dzuhur dan Ashar sekalian. Kemudian beliau masuk (datang). Kemudian keluar dan shalat Maghrib serta Isya sekalian”.

Dan dari jalur Malik telah dikeluarkan oleh Imam Muslim (7/60) dan Abu Dawud (1206), An-Nasa’i (juz I, hal 98), Ad-Darimi (juz I, hal 356), Ath-Thahawi (I/95), Al-Baihaqi (3/162), Ahmad (5/237) dan dalam riwayat Muslim (2/162) dan lainnya dari jalur lain :

“Kemudian saya berkata : ‘Apa maksudnya demikian ?” Dia berkata : Maksudnya agar tidak memberatkan umatnya”.

Kandungan Hukumnya

Dalam hadits ini terdapat beberapa masalah.

[1]. Boleh mengumpulkan dua shalat pada waktu bepergian walaupun pada tempat selain Arafah dan Muzdalifah ; demikian pendapat jumhurul ulama. Berbeda dengan mazdhab Hanafiyah. Mereka menakwilkannya dengan ‘jama’ shuwari’ yakni mengakhirkan Dzhuhur sampai mendekati waktu Ashar demikian pula Maghrib dan Isya’. pendapat ini telah dibantah oleh jumhurul ulama dari berbagai segi.

Pertama : Pendapat ini jelas menyalahi pengertian jama’ secara dhahir.

Kedua : Tujuan disyariatkan jama’ adalah untuk mempermudah dan enghindarkan kesulitan, seperti yang telah dijelaskan oleh riwayat Muslim. Sedangkan jama’ dalam pengertian ‘shuwari’ masih mengandung kesulitan.

Ketiga : Sebagian hadits tentang jama’ jelas menyalahkan pendapat mereka itu. Seperti hadits Anas bin Malik yang berbunyi. “Mengakhirkan Dzuhur sehingga masuk awal Ashar, kemudian dia menjama’ (mengumpulkan) keduanya”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim (2/151) dan lainya.

Keempat : Bahkan pendapat itu juga bertentangan dengan pengertian jama taqdim sebagaimana dijelaskan oleh hadits Mu’adz berikut ini.

“Dan apabila dia berangkat setelah tergelincir matahari, maka dia akan menyegerakan Ashar kepada Dzuhur”.

Dan sesungguhnya hadits-hadits yang serupa ini adalah banyak, sebagaimana telah disinggung.

[2]. Sesungguhnya soal jama’ (mengumpulkan dua shalat) disamping boleh jama takhir, boleh juga jama taqdim. Ini dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Um (I/67), disamping oleh Imam Ahmad dan Ishaq, sebagaimana dikatakan oleh At-Tarmidzi (2/441).

[3]. Sesungguhnya diperbolehkan jama’ pada waktu turunnya (dari kendaraan) sebagaimana diperbolehkan manakala berlangsung perjalanan. Imam Syafi’i dalam Al-Um, setelah meriwayatkan hadits ini dari jalur Malik, mengatakan : “Ini menunjukkan bahwa dia sedang turun bukan sedang jalan. Karena kata ‘dakhala’ dan ‘kharaja’ (masuk dan keluar) adalah tidak lain bahwa dia sedang turun. Maka bagi seorang musafir boleh menjama’ pada saat turun dan pada saat berjalan’.

Saya berpendapat : Dengan nash ini maka tidaklah perlu menghiraukan kata Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zadul Ma’ad (1/189) menuturkan : “Bukanlah petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melakukan jama’ sambil naik kendaraan dalam perjalanannya, sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan orang, dan tidak juga jama’ itu harus pada waktu dia turun”.

Nampaknya banyak kaum muslimin yang terkecoh oleh kata-kata Ibnul Qayyim ini. Oleh karenanya mestilah ingat kembali.

Adalah janggal bila Ibnul Qayyim tidak memahi nash yang ada dalam Al-Muwatha’, Shahih Muslim dan lain-lain ini. Akan tetapi keheranan tersebut akan hilang manakala kita ingat bahwa dia menulis kitab Az-Zad itu, adalah pada waktu dimana dia jauh dari kitab-kitab lain, yakni dia dalam perjalanan, sebagai seorang musafir. Inilah sebabnya mengapa dalam kitab tersebut disamping kesalahan itu, banyak juga kesalahan yang lain. Dan mengenai hal ini telah saya jelaskan dalam At-Ta’liqat Al-Jiyad ‘Ala Zadil Ma’ad.

Yang membuat pendapat ini tetap janggal adalah bahwa gurunya, yakni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, telah menjelaskan dalam sebuah bukunya, berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim. Mengapa hal itu tidak diketahui oleh Ibnul Qayyim padahal dia orang yang paling mengenal Ibnu Taimiyah dengan segala pendapatnya.? Setelah menuturkan hadits itu, Syaikhul Islam dalam Majmu’atur Rasail wal-Masa’il (2/26-27) mengatakan : “Pengertian jama’ itu ada tiga tingkatan : Manakala sambil berjalan maka pada waktu yang pertama.

Sedangkan bila turun maka pada waktu yang kedua. Inilah jama’ sebagaimana disebutkan dalam Ash-Shahihain dari hadits Anas dan Ibnu Umar. Itu menyerupai jama’ di Muzdalifah. Adapun manakala di waktu yang kedua baik dengan berjalan maupun dengan kendaraan, maka di-jama’ pada waktu yang pertama. Ini menyerupai jama’ di Arafah. Sungguh hal ini telah diriwayatkan dalam As-Sunnan (yakni hadits Mu’adz ini). Adapun manakala turun pada waktu keduanya, maka dalam hal ini tidak aku ketahui hadits ini menunjukkan bahwa beliau Nabi turun di kemahnya dalam bepergian itu. Dan bahwa beliau mengakhirkan Dzuhur kemudian keluar lalu shalat Dzuhur dan Ashar sekalian.

Kemudian beliau masuk ke tempatnya, lalu keluar lagi dan melakukan shalat Maghrib dan Isya’ sekalian. Sesungguhnya kala ‘ad-dukhul’ (masuk) dan ‘khuruj’ (keluar), hanyalah ada di rumah (kemah saja). Sedangkan orang yang berjalan tidak akan dikatakan masuk atau keluar. Tetapi turun atau naik.

“Dan Tabuk adalah akhir peperangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Beliau sesudah itu, tidak pernah bepergian kecuali ketika haji Wada’. Tidak ada kasus jama’ darinya kecuali di Arafah dan Muzdalifah. Adapun di Mina, maka tidak ada seorangpun yang menukil bahwa beliau pernah menjama’ di sana.

Mereka hanya menukilkan bahwa beliau memang mengqashar di sana. Ini menunjukkan bahwa beliau dalam suatu bepergian terkadang menjama’ dan terkadang tidak. Bahkan yang lebih sering adalah bahwa beliau tidak men-jama’ . Hal ini menunjukkan bahwa beliau tidak menjama’. Dan juga menunjukkan bahwa jama’ bukan menjadi sunah Safar sebagaimana qashar, tetapi dilakukan hanya bila diperlukan saja, baik dalam bepergian maupun sewaktu tidak dalam bepergian supaya tidak memberatkan umatnya. Maka seorang musafir bilamana memerlukan jama’ maka lakukan saja, baik pada waktu kedua atau pertama, baik ia turun untuknya atau untuk keperluan lain seperti tidur dan istirahat pada waktu Dzuhur dan waktu Isya’. Kemudian dia turun pada waktu Dzuhur dan waktu Isya. Dia turun pada waktu Dzuhur karena lelah dan mengantuk serta lapar sehingga memerlukan istirahat, tidur dan makan. Dia boleh mengakhirkan Dzuhur kepada waktu Ashar kemudian menjama’ taqdim Isya dengan Maghrib lalu sesudah itu bisa tidur agar bisa bangun di tengah malam dalam bepergiannya.

Maka menurut hadits ini dan lainnya adalah diperbolehkan men-jama’. Adapun bagi orang yang singgah beberapa hari di suatu kampong atau kota, maka meskipun ia boleh mengqashar, karena dia musafir, namun tidak diperkenankan men-jama’. Ia seperti halnya tidak boleh shalat di atas kendaraan, tidak boleh shalat dengan tayamum dan tidak boleh makan bangkai.

Hal-hal seperti ini hanya diperbolehkan sewaktu diperlukan saja. Lain halnya dengan soal qashar. sesungguhnya ia memang menjadi sunnah dalam shalat perjalanan”.

[Disalain dari buku Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah wa Syaiun Min Fiqhiha wa Fawaaidiha, edisi Indonesia Silsilah Hadits Shahih dan Sekelumit Kandungan Hukumnya oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terbitan Pustaka Mantiq, hal 368-372 penerjemah Drs.HM.Qodirun Nur]

Sumber: almanhaj.or.id





Basmalah pada Alfatihah

9 12 2009

Basmalah

Basmalah, berasal dari akar kata “basmala-yubasmilu-basmalatan” yang berarti mengucapkan lafadz Bismillahirrahmanir-rahim. Kata basmalah merupakan “masdar” yaitu kata benda yang berasal dari kata kerja.

Para ulama sepakat bahwa basmalah yang termaktub dalam QS An Naml (27) : 30 yaitu : “innahu min sulaiman wa innahu bismillaahir-rahmaanir-rahiim ” adalah termasuk bagian dari ayat Al Quran.

Disini timbul perbedaan, apakah basmalah termasuk surah Al Fatihah dan setiap surah Al Quran.

Menurut madzhab Maliki, basmalah tidak termasuk ayat dari surah Al Fatihah dan juga tidak termasuk ayat dalam setiap surah Al Quran, kecuali QS An Naml (QS.27).

Argumentasi mereka adalah sebagai berikut :

Dalil Naqly

1.Dari ‘Aisyah r.a. ia berkata : ” ketika Rasululllah SAW shalat beliau mulai dengan takbir kemudian langsung membaca “Alhamdulillahi rabbil “alamin”. (Hadits riwayat Muslim)

2. Dari Anas r.a. sebagaimana ada dalam kitab shahih Bukhari dan Muslim, ia berkata : “Aku pernah shalat di belakang Nabi SAW, Abu Bakar, Umar, dan Ustman. Mereka membaca Al Fatihah langsung Alhamdulil-lahirabbil’alamin tanpa basmalah”. Dalam riwayat muslim ditambahkan : ” Mereka tidak menyebut lafal basmalah baik di awal bacaan (Al Fatihah) maupun akhir bacaan”.

3. Dan Abu Hurairah r.a ia berkata : “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Allah SWT berfirman: “Aku membagi surah Al Fatihah separuh-separuh antara Aku dan hambaKu. Dan hambaKu berhak mendapatkan apa yang dia minta. Jika ada seorang hamba berkata alhamdulillahirabbil’alamin, Allah berfirman: “hambaKu memujiKu, jika ia membaca : al-rahmanir-rahim, Allah berfirman: “hambaKu memujiKu, jika ia membaca lagi: maliki yaumid din, Allah berfirman: “hambaKu mengagungkanKu dan memasrahkan dirinya kepadaKu, maka jika ia membaca : lyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, Allah berfirman: “ini antara Aku dan hambaKu, untuknya apa yang ia minta, maka jika ia membaca lagi : ihdinas shiratal mustaqim…dst Allah berfirman : ini untuk hambaKu dan baginya apa yang ia minta. (Hadist Qudsi dalam kitab Syarhun Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, juz 3 halaman 12).

Dalil `Aqly (Logika)

Andaikata basmalah termasuk Al Fatihah maka terdapat pengulangan dalam satu surah dalam ” ar-rahmanir-rahim”. Satu hal yang janggal dalam ilmu balaghah.

Adapun penulisan basmalah pada setiap surah adalah lit-tabarruk (mengharapkan berkah), dan melaksanakan hadits yang menganjurkan membaca basmalah pada setiap urusan, sekalipun penulisannya dianggap mutawatir tetapi tidak dalam keberadaannya sebagai bagian dari surah Al Fatihah dan setiap surah Al-Quran.

Di masjid Nabawi yang terletak di kota Madinah, dimana shalat telah dilaksanakan selama kurun waktu ratusan tahun dari zaman Rasulullah SAW sampai zaman Imam Malik ra, namun, tidak satupun imam shalat yang membaca basmalah. Ini mengindikasikan bahwa basmalah bukan termasuk Al Fatihah dan ayat setiap surah. Atas dasar madzhab inilah, Metode Struktur Al Quran tidak menyertakan basmalah dalam setiap terapinya.

Imam Al Qurthuby menegaskan bahwa pendapat Imam Malik yang paling shahih, karena periwayatan Al Quran harus mutawatir dan pasti. Bukan didasarkan atas riwayat yang Ahad (dzanny) yang masih diperselisihkan keabsahannya. Hal senada diungkapkan lbnu Al ‘Araby.